SKALA PENGUKURAN DAN INSTRUMEN PENELITIAN
A.
Macam-macam skala pengukuran
Skala pengukuran
merupakan kesepakatan yang digunakan sebagai acuan untuk menentukan panjang
pendeknya interval yang ada dalam alat ukur, sehingga alat ukur tersebut bila
digunakan dalam pengukuran akan menghasilkan data kuantitatif.
Berbagai skala sikap yang
dapat digunakan untuk penelitian administrasi, pendidikan dan social antara
lain :
1.
Skala Likert
2.
Skala Guttman
3.
Rating Scale
4.
Semantic
Deferential
Ke lima jenis skala tersebut bila digunakan dalam
pengukuran akan mendapatkan data interval, atau rasio. Hal ini akan tergantung
pada bidang yang akan diukur.
1.
Skala Likert
Skala likert
digunakan untuk mengukur sikap, pendapat, dan presepsi seseorang atau kelompok
orang tentang fenomena social. Dalam penelitian, fenomena social ini telah
ditetapkan secara spesifik oleh peneliti, yang selanjutnya disebut variable
penelitian.
Dengan skala likert,
maka variable yang akan diukur dijabarkan menjadi idikator variable yang
kemudian inikator tersebut dijadikan sebagai titik tolak untuk menyusun
item-item instrument yang dapa t berupa pertanyaan atau pernyataan.
Jawaban setiap instrument yang menggunakan skala
likert mempunyai gradasi dari sangat positif sampai sangat negative, yang dapat
berupa kata-kata antara lain :
a. Sangat setuju
b. Setuju
c. Ragu-ragutidakk setuju
d. Sangat tidak setuju
|
a. Selalu
b. Sering
c. Kadang-kadang
d. Tidak pernah
|
|
a. Sangat positif
b. Positif
c. Negative
d. Sangat negatif
|
a. Sangat baik
b. Baik
c. Tidak baik
d. Sangat tidak baik
|
|
Untuk keperluan
analisis kuantitatif, maka jawaban itu dapat diberi skor, misalnya :
1.
Setuju/selalu/sangat
positif diberi skor 5
2.
Setuju/sering/positif
diberi skor 4
3.
Ragu-ragu/kadng-kadang/netral
diberi skor 3
4.
Tidak
setuju/hampir tidak pernah/negative skor 2
5.
Sangat tidak
setuju/tidak pernah diberi skor 1
Instrument penelitian yang menggunakan
skala likert dapat dibuat dalam bentuk checklist ataupun pilihan ganda.
2.
Skala Guttman
Skala
pengukuran dengan tipe ini, akan didapat dengan jawaban tegas, yaitu
“ya-tidak”, “benar-salah”, “pernah-tidak pernah”, “positif-negatif” dan
lain-lain. Data yng diperoleh dapat berupa data interval atau rasio dikotomi.
Jadi kalau pada skala likert terdapat 3, 4, 5, 6,7 interval, dari kata “sangat
setuju” sampai “sangat tidak setuju” , maka pada skala Guttman hanya ada dua
interval yaitu “setuju” atau “tidak setuju”. Penelitian menggunakan skala
guttman dilakukan bila ingin mendapatkan jawaban yang tegas terhadap suatu
permasalahan yang ditanyakan.
Contoh :
1. Bagaimana pendapat anda, bila orang itu menjabat
pimpinan diperusahaan ini ?
a. Setuju
b. Tidak setuju
2. Pernahkah pimpinan melakukan pemeriksaan diruang
kerja anda?
a. Pernah
b. Tidak pernah
Skala Guttman selain dapat dibuat dalam
bentuk mpilihan ganda, juga dapat berbentuk checklist. Jawaban dapat diberi skor tertinggi satu dam
terrendah nol. Misalnya untuk jawaban setuju diberu skor 1 dan tidsak setuju
diberi skor 0.
Pernyataan yang berkenaan dengan fakta
benda bukan termasuk dalam skala pengukuran interval dikotomi.
Contoh
:
1. Apakah tempat kerja anda dekat alan protocol?
a. Ya
b. Tidak
2. Anda punya ijasah sarjana?
a. Tidak
b. Punya
3.
Semantic differensial
Skala
pengukuran yang berbentuk semantic diffrensial dikembangkan oleh Ossgood. Skala
ini juga digunakan untu mengukur sikap,
hanya bentuknya tidak pilihan ganda maupun checklist,tetapi tersusun dalam satu
garis kontinum yang jawaban “sangat
positifnya” terletak dibagian kanan garis, dan awaban yang “sangat negative” terletak dibagian
kiri garis, atau sebaliknya. Data yang
diperoleh adalah data interval, dan biasanya skala ini digunakan untuk mengukur
sikap /karakteristk tertentu yang dipunyai seseorang.
Contoh :
Beri nilai gaya
kepemimpinan
Manager anda
|
Bersahabat 5 4 3 2 1 tidak bersahabat
Tepat
janji 5 4 3 2 1 lupa janji
Bersudara 5 4 3 2 1 memusuhi
Memberi
pujian 5 4 3 2 1 mencela
Mempercayai 5 4 3 2 1 mendominasi
Responden
dapat memberi jawaban, pada rentang jawaban yang positif, sampai dengan
negative. Hal ini tergantung pada presepsi responden kepada yang dinilai.
Responden
yang memberi nilai 5 berarti presepsi responden terhadap pimpinan itu sangat
positif, sedangkan bila memberi nilai 3, berarti netral, dan bila memberi nilai
1, maka presepsi responden sangat negative.
4.
Rating Scale
Dari ke
tiga skala pengukuran seperti yang telah dikemukakan,data yang diperoleh
semuanya adalah data kualitatif yang kemudian dikkuantitatifkan. Tetapi dengan
rating scale data mentah diperoleh berupa angka kemudian ditfsirkan dalam
pengertian kualitatif.
Dalam
rating scale, responden tidak akan menawab salah satu dari jawaban kualitatif
yang telah disediiakan, tetapi menjawab salah satu jawaban kuantitatif yang
telah disediakan. Oleh karna itu, rating scale ini lebih fleksibel tidak
terbatas un tuk pengukuran sikap saja tetapi mengukur presepsi responden
terhadap fenomena lainnya, seperti skala untuk mengukur status social ekonomi,
kelembagaan, pengetahuan, kemamouan, proses kegiatan dan lain-lain.
B.
Instrumen penelitian
Pada
prisipnya meneliti adalah melakukan pengukuran terhadap fenomena social maupun
alam. Meneliti dengan data yang sudah ada lebih tepat kalau dinamakan membuat
laporan dari pada melakukan penelitian. Namun demiian dalam skala yang paling
rendah laporan juga dapat dinyatakan sebagai bentuk penelitan (Emory, 1985)
Karna
pada prinsipnya meneliti adalah melakukan pengukuran, maka harus ada alat ukur
yang baik. Alat ukur dalam penelitian biasanya disebut instrument penelitian.
Jumlah
instrument penelitian tergantung pada jumlah variable penelitian yang telah
ditetapkan untuk diteliti. Misalnya akan meneliti tentang “pengaruh kepemimpinan dan iklim kerja terhadap produktivitas pegawai”.
Dalam hal ini ada tiga instrument yang dibuat yaitu :
1.
Instrument untuk
mengukur kepemimpinan
2.
Instrument untuk
mengukur iklim kerja
3.
Instrument untuk
mengukur produktivitas pegawai.
C. Cara menyusun instrument
Titik tolak dari penyusunan adalah variable-variabel
penelitian yang ditetapkan untuk diteliti. Dari variabel-variabel tersebut
diberikan defenisi oprasionalnya, dan selanutnya ditentukan indicator yang akan
diukur. Dari indicator ini kemudian dijabarkan menjadi butir-butir pertanyaan
atau pernyataan. Untuk memudahkan penyusunan instrument, maka perlu digunakan “matrik pengembangan instrument” atau
“kisi-kisi instrument”.
Sebagai contoh misalnya variable penelitiannya “tingkat kekayaan” indicator kekayaan
misalnya : rumah,kendaraan, tempat belanja, pendidikan, jenis makanan yang
seriing dimakan, jenis olahraga yang dilakukan dan sebagainya. Untuk indicator
rumah, bentuk pertanyaannya misalnya 1) berapa jumlah rumah, 2) dimana letak
rumah, 3) berapa luas masing-masing rumah, 4) bagaiman kualitas bangunan dan
sebagainya.
Untuk bias menentukan indicator dari setiap variable yang
diteliti, maka diperlukan wawasan yang luasdan mendalam mengenai variable yang
–teori diteliti, dan teori-teori yang mendukungnya.
D.
Validitas dan reabilitas instrument
Menurut Azwar (1986)
Validitas berasal dari kata validity yang mempunyai arti sejauh mana ketepatan
dan kecermatan suatu alat ukur dalam melakukan fungsi ukurnya. Suatu skala atau instrumen pengukur
dapat dikatakan mempunyai validitas yang tinggi apabila instrumen tersebut
menjalankan fungsi ukurnya, atau memberikan hasil ukur yang sesuai dengan
maksud dilakukannya pengukuran tersebut. Sedangkan tes yang memiliki validitas
rendah akan menghasilkan data yang tidak relevan dengan tujuan pengukuran.
Terkandung di sini pengertian bahwa ketepatan validitas pada suatu alat ukur tergantung pada kemampuan alat ukur tersebut mencapai tujuan pengukuran yang dikehendaki dengan tepat. Suatu tes yang dimaksudkan untuk mengukur variabel A dan kemudian memberikan hasil pengukuran mengenai variabel A, dikatakan sebagai alat ukur yang memiliki validitas tinggi. Suatu tes yang dimaksudkan mengukur variabel A akan tetapi menghasilkan data mengenai variabel A’ atau bahkan B, dikatakan sebagai alat ukur yang memiliki validitas rendah untuk mengukur variabel A dan tinggi validitasnya untuk mengukur variabel A’ atau B (Azwar 1986).Sisi lain dari pengertian validitas adalah aspek kecermatan pengukuran. Suatu alat ukur yang valid tidak hanya mampu menghasilkan data yang tepat akan tetapi juga harus memberikan gambaran yang cermat mengenai data tersebut.Cermat berarti bahwa pengukuran itu dapat memberikan gambran mengenai perbedaan yang sekecil-kecilnya mengenai perbedaan yang satu dengan yang lain. Sebagai contoh, dalam bidang pengukuran aspek fisik, bila kita hendak mengetahui berat sebuah cincin emas maka kita harus menggunakan alat penimbang berat emas agar hasil penimbangannya valid, yaitu tepat dan cermat. Sebuah alat penimbang badan memang mengukur berat, akan tetapi tidaklah cukup cermat guna menimbang berat cincin emas karena perbedaan berat yang sangat kecil pada berat emas itu tidak akan terlihat pada alat ukur berat badan.Menggunakan alat ukur yang dimaksudkan untuk mengukur suatu aspek tertentu akan tetapi tidak dapat memberikan hasil ukur yang cermat dan teliti akan menimbulkan kesalahan atau eror. Alat ukur yang valid akan memiliki tingkat kesalahan yang kecil sehingga angka yang dihasilkannya dapat dipercaya sebagai angka yang sebenarnya atau angka yang mendekati keadaan yang sebenarnya (Azwar 1986).
Terkandung di sini pengertian bahwa ketepatan validitas pada suatu alat ukur tergantung pada kemampuan alat ukur tersebut mencapai tujuan pengukuran yang dikehendaki dengan tepat. Suatu tes yang dimaksudkan untuk mengukur variabel A dan kemudian memberikan hasil pengukuran mengenai variabel A, dikatakan sebagai alat ukur yang memiliki validitas tinggi. Suatu tes yang dimaksudkan mengukur variabel A akan tetapi menghasilkan data mengenai variabel A’ atau bahkan B, dikatakan sebagai alat ukur yang memiliki validitas rendah untuk mengukur variabel A dan tinggi validitasnya untuk mengukur variabel A’ atau B (Azwar 1986).Sisi lain dari pengertian validitas adalah aspek kecermatan pengukuran. Suatu alat ukur yang valid tidak hanya mampu menghasilkan data yang tepat akan tetapi juga harus memberikan gambaran yang cermat mengenai data tersebut.Cermat berarti bahwa pengukuran itu dapat memberikan gambran mengenai perbedaan yang sekecil-kecilnya mengenai perbedaan yang satu dengan yang lain. Sebagai contoh, dalam bidang pengukuran aspek fisik, bila kita hendak mengetahui berat sebuah cincin emas maka kita harus menggunakan alat penimbang berat emas agar hasil penimbangannya valid, yaitu tepat dan cermat. Sebuah alat penimbang badan memang mengukur berat, akan tetapi tidaklah cukup cermat guna menimbang berat cincin emas karena perbedaan berat yang sangat kecil pada berat emas itu tidak akan terlihat pada alat ukur berat badan.Menggunakan alat ukur yang dimaksudkan untuk mengukur suatu aspek tertentu akan tetapi tidak dapat memberikan hasil ukur yang cermat dan teliti akan menimbulkan kesalahan atau eror. Alat ukur yang valid akan memiliki tingkat kesalahan yang kecil sehingga angka yang dihasilkannya dapat dipercaya sebagai angka yang sebenarnya atau angka yang mendekati keadaan yang sebenarnya (Azwar 1986).
Pengertian validitas juga sangat
erat berkaitan dengan tujuan pengukuran. Oleh karena itu, tidak ada validitas
yang berlaku umum untuk semua tujuan pengukuran. Suatu alat ukur biasanya hanya
merupakan ukuran yang valid untuk satu tujuan yang spesifik. Dengan demikian,
anggapan valid seperti dinyatakan dalam “alat ukur ini valid” adalah kurang
lengkap. Pernyataan valid tersebut harus diikuti oleh keterangan yang menunjuk
kepada tujuan (yaitu valid untuk mengukur apa), serta valid bagi kelompok
subjek yang mana? (Azwar 1986)
Pengertian validitas menurut Walizer (1987) adalah tingkaat
kesesuaian antara suatu batasan konseptual yang diberikan dengan bantuan
operasional yang telah dikembangkan.
Walizer (1987) menyebutkan pengertian Reliability (Reliabilitas)
adalah keajegan pengukuran.Menurut John M. Echols dan Hasan Shadily (2003: 475)
reliabilitas adalah hal yang dapat dipercaya. Popham (1995: 21) menyatakan
bahwa reliabilitas adalah "...the degree of which test score are free from
error measurement"
Menurut Masri Singarimbun, realibilitas adalah indeks yang
menunjukkan sejauh mana suatu alat ukur dapat dipercaya atau dapat diandalkan.
Bila suatu alat pengukur dipakai dua kali – untuk mengukur gejala yang sama dan
hasil pengukuran yang diperoleh relative konsisten, maka alat pengukur tersebut
reliable. Dengan kata lain, realibitas menunjukkan konsistensi suatu alat
pengukur di dalam pengukur gejala yang sama
Menurut Brennan (2001: 295) reliabilitas merupakan karakteristik
skor, bukan tentang tes ataupun bentuk tes.
Menurut Sumadi Suryabrata (2004: 28) reliabilitas menunjukkan
sejauhmana hasil pengukuran dengan alat tersebut dapat dipercaya. Hasil
pengukuran harus reliabel dalam artian harus memiliki tingkat konsistensi dan
kemantapan.
Dalam pandangan Aiken (1987: 42) sebuah tes dikatakan reliabel
jika skor yang diperoleh oleh peserta relatif sama meskipun dilakukan
pengukuran berulang-ulang.
Dengan demikian, keandalan sebuah alat ukur dapat dilihat dari dua
petunjuk yaitu kesalahan baku pengukuran dan koefisien reliabilitas. Kedua
statistik tersebut masing-masing memiliki kelebihan dan keterbatasan (Feldt
& Brennan, 1989: 105)
Reliabilitas, atau keandalan, adalah konsistensi dari serangkaian
pengukuran atau serangkaian alat ukur. Hal tersebut bisa berupa pengukuran dari
alat ukur yang sama (tes dengan tes ulang) akan memberikan hasil yang sama,
atau untuk pengukuran yang lebih subjektif, apakah dua orang penilai memberikan
skor yang mirip (reliabilitas antar penilai). Reliabilitas tidak sama dengan
validitas. Artinya pengukuran yang dapat diandalkan akan mengukur secara
konsisten, tapi belum tentu mengukur apa yang seharusnya diukur.
Dalam penelitian, reliabilitas adalah sejauh mana pengukuran dari
suatu tes tetap konsisten setelah dilakukan berulang-ulang terhadap subjek dan
dalam kondisi yang sama. Penelitian dianggap dapat diandalkan bila memberikan
hasil yang konsisten untuk pengukuran yang sama. Tidak bisa diandalkan bila
pengukuran yang berulang itu memberikan hasil yang berbeda-beda.
Pengukuran reliabilitas dapat dilakukan dengan menggunakan
berbagai alat statistik (Feldt & Brennan, 1989: 105)
Berdasarkan sejarah, reliabilitas sebuah instrumen dapat dihitung
melalui dua cara yaitu kesalahan baku pengukuran dan koefisien reliabilitas
(Feldt & Brennan: 105). Kedua statistik di atas memiliki keterbatasannya
masing-masing. Kesalahan pengukuran merupakan rangkuman inkonsistensi peserta
tes dalam unit-unit skala skor sedangkan koefisien reliabilitas merupakan
kuantifikasi reliabilitas dengan merangkum konsistensi (atau inkonsistensi)
diantara beberapa kesalahan pengukuran.
E pengujian
validitas dan reabilitas instrument
1.
Penguian
validitas instrument
a.
Pengujian validitas konstruksi
Menurut
Djaali dan Pudji (2008) validitas konstruk adalah validitas yang
mempermasalahkan seberapa jauh item-item tes mampu mengukur apa-apa yang
benar-benar hendak diukur sesuai dengan konsep khusus atau definisi konseptual
yang telah ditetapkan.
Validitas konstruk biasa digunakan
untuk instrumen-instrumen yang dimaksudkan mengukur variabel-variabel konsep,
baik yang sifatnya performansi tipikal seperti instrumen untuk mengukur sikap,
minat, konsep diri, lokus control, gaya kepemimpinan, motivasi berprestasi, dan
lain-lain, maupun yang sifatnya performansi maksimum seperti instrumen untuk
mengukur bakat (tes bakat), intelegensi (kecerdasan intelekual), kecerdasan
emosional dan lain-lain.
Untuk
menentukan validitas konstruk suatu instrumen harus dilakukan proses penelaahan
teoritis dari suatu konsep dari variabel yang hendak diukur, mulai dari
perumusan konstruk, penentuan dimensi dan indikator, sampai kepada penjabaran
dan penulisan butir-butir item instrumen. Perumusan konstruk harus dilakukan
berdasarkan sintesis dari teori-teori mengenai konsep variabel yang hendak
diukur melalui proses analisis dan komparasi yang logik dan cermat.
Menyimak
proses telaah teoritis seperti telah dikemukakan, maka proses validasi konstruk
sebuah instrumen harus dilakukan melalui penelaahan atau justifikasi pakar atau
melalui penilaian sekelompok panel yang terdiri dari orang-orang yang menguasai
substansi atau konten dari variabel yang hendak diukur.
b.
Pengujian validitas isi
Validitas
isi suatu tes mempermasalahkan seberapa jauh suatu tes mengukur tingkat
penguasaan terhadap isi suatu materi tertentu yang seharusnya dikuasai sesuai
dengan tujuan pengajaran.
Dengan kata lain, tes yang mempunyai
validitas isi yang baik ialah tes yang benar-benar mengukur penguasaan materi
yang seharusnya dikuasai sesuai dengan konten pengajaran yang tercantum dalam
Garis-Garis Besar Program Pengajaran (GBPP).
Menurut
Gregory (2000) validitas isi menunjukkan sejauhmana pertanyaan, tugas atau
butir dalam suatu tes atau instrumen mampu mewakili secara keseluruhan dan
proporsional perilaku sampel yang dikenai tes tersebut. Artinya tes
mencerminkan keseluruhan konten atau materi yang diujikan atau yang seharusnya
dikuasai secara proporsional.
Untuk
mengetahui apakah tes itu valid atau tidak harus dilakukan melalui penelaahan
kisi-kisi tes untuk memastikan bahwa soal-soal tes itu sudah mewakili atau mencerminkan
keseluruhan konten atau materi yang seharusnya dikuasai secara proporsional.
Oleh karena itu, validitas isi suatu tes tidak memiliki besaran tertentu yang
dihitung secara statistika, tetapi dipahami bahwa tes itu sudah valid
berdasarkan telaah kisi-kisi tes. Oleh karena itu, wiersma dan Jurs dalam
Djaali dan Pudji (2008) menyatakan bahwa validitas isi sebenarnya mendasarkan
pada analisis logika, jadi tidak merupakan suatu koefisien validitas yang
dihitung secara statistika.
Untuk memperbaiki validitas suatu
tes, maka isi suatu tes harus diusahakan agar mencakup semua pokok atau
sub-pokok bahasan yang hendak diukur. Kriteria untuk menentukan proporsi
masing-masing pokok atau sub pokok bahasan yang tercakup dalam suatu tes ialah
berdasarkan banyaknya isi (materi) masing-masing pokok atau sub-pokok bahasan
seperti tercantum dalam kurikulum atau Garis-Garis Besar Program
Pengajaran(GBPP).
Selain
itu, penentuan proporsi tersebut dapat pula didasarkan pendapat (judgement)
para ahli dalam bidang yang bersangkutan. Jadi situasi tes akan mempunyai
validitas isi yang baik jika tes tersebut terdiri dari item-item yang mewakili
semua materi yang hendak diukur. Salah satu cara yang biasa digunakan untuk
memperbaiki validitas isi suatu tes ialah dengan menggunakan blue-print
untuk menentukan kisi-kisi tes.
c. Pengujian validitas eksternal
Kriteria eksternal dapat berupa
hasil ukur instrumen yang sudah baku atau instrumen yang dianggap baku dapat
pula berupa hasil ukur lain yang sudah tersedia dan dapat dipercaya sebagai
ukuran dari suatu konsep atau varaibel yang hendak diukur. Validitas eksternal
diperlihatkan oleh suatu besaran yang merupakan hasil perhitungan statistika.
Jika kita menggunakan hasil ukur instrumen yang sudah baku sebagai kriteria
eksternal, maka besaran validitas eksternal dari instrumen yang kita kembangkan
didapat dengan jalan mengkorelasikan skor hasil ukur instrumen yang
dikembangkan dengan skor hasil ukur instrumen baku yang dijadikan kriteria.
Makin tinggi koefesien korelasi yang didapat, maka validitas instrumen yang
dikembangkan juga makin baik. Kriteria yang digunakan untuk menguji validitas
eksternal adalah nilai table r (r-tabel).
Jika koefesien korelasi antara skor
hasil ukur instrumen yang dikembangkan dengan skor hasil ukurinstrumen baku
lebih besar dari pada r-tabel, maka instrumen yang dikembangkan dapat valid
berdasarkan kriteria eksternal yang dipilih (hasil ukur instrumen baku). Jadi
keputusan uji validitas dalam hal ini adalah mengenai valid atau tidaknya
instrumen sebagai suatu kesatuan, bukan valid atau tidaknya butir instrumen
seperti pada validitas internal.
Ditinjau dari kriteria eksternal
yang dipilih, validitas eksternal dapat dibedakan atas dua macam yaitu:
1. Validitas prediktif apabila
kriteria eksternal yang digunakan adalah adalah ukuran atau penampilan masa
yang akan datang.
2. Validitas kongkuren apabila kriteria eksternal
yang digunakan adalah ukuran atau penampilan saat ini atau saat yang bersamaan
dengan pelaksanaan pengukuran.
2.
Penguian relabillitas instrumen
Reliabilitas adalah sesuatu
instrumen cukup dapat dipercaya untuk digunakan sebagai alat pengumpul data
karena instrumen tersebut sudah
baik ( Arikunto, 2002: 154 ). Pada penelitian ini untuk mencari
reliabilitas instrumen menggunakan rumus
alpha α,
karena instrumen dalam penelitian ini
berbentuk angket atau daftar pertanyaan yang skornya merupakan rentangan antara
1-5 dan uji validitas menggunakan
item total, dimana
untuk mencari reliabilitas instrumen yang skornya bukan 1 dan 0, misalnya angket atau soal bentuk uraian maka menggunakan rumus alpha α:
Reliabilitas
adalah sejauh mana hasil suatu pengukuran dapat dipercaya, maksudnya apabila
dalam beberapa pelaksanaan pengukuran terhadap kelompok yang sama diperoleh
hasil yang relatif sama
( Syaifuddin Azwar, 2000 : 3). Dalam penelitian ini, uji reliabilitas
dilakukan dengan menggunakan tekhnik Formula Alpha Cronbach dan dengan
menggunakan program SPSS 15.0 for windows.
Rumus :
α =
|
Keterangan
:
α = koefisien reliabilitas alpha
k = jumlah item
Sj = varians responden untuk item I
Sx =
jumlah varians skor total
Indikator
pengukuran reliabilitas menurut Sekaran (2000: 312) yang membagi tingkatan
reliabilitas dengan kriteria sebagai berikut :
Jika alpha atau r hitung:
Jika alpha atau r hitung:
1. 0,8-1,0 =
Reliabilitas baik
2. 0,6-0,799 =
Reliabilitas diterima
3. kurang dari 0,6 = Reliabilitas kurang
baik
Komentar
Posting Komentar