Ruteng, Kota yang Dingin Namun Hangat
Ruteng, Kota
yang Dingin Namun Hangat
HAWA SEJUK dan dikelilingi pegunungan, dengan banyak
bangunan bernuansa eropa, rasa-rasanya saya seperti berada di Kota Praha, Ceko,
sebuah kota yang seakan berada di atas awan. Namun, saya harus berhenti
bermimpi dulu, ini adalah Ruteng, salah satu kota di dataran tinggi
Flores. Walau siang hari terik, hawa dingin tetap terasa, seperti di dataran tinggi Dieng. Kota kecil berjarak 126 km
dari Labuan bajo ini membuat saya jatuh cinta pada impresi pertama “Agama mas
apa? “ tanya Aldi tiba-tiba, salah satu anak yang saya temui di depan katredal
Ruteng. “Saya Islam,” jawab saya sambil tersenyum “Hmmmmmm,” dia nampak sedikit
kecewa, entah mengapa. “Tapi, kita kan sama-sama Indonesia,” ujar saya. Ia pun
ikut tersenyum sebelum akhirnya minta diajari memotret dengan kamera saya.
Hampir
85 persen total populasi di Ruteng menganut Katolik . Saya menemukan banyak
sekali gereja disini. Bahkan, katredal utama yang paling besar mempunyai
arsitektur Eropa. Tidak heran, bangsa yang pernah menjajah kita mempunyai
pengaruh misionaris yang besar di tanah Flores. Tapi, masih ada satu mesjid
disini kok, dekat alun alun kota Ruteng. Tempat saya menginap adalah sebuah
biara. Susteran maria berduka cita namanya. Bangunannya megah, masih bernuansa
Eropa. Dengan harga hanya 130 ribu semalam untuk kamar standard yang cukup
luas; dilengkapi shower air panas, kamar bersih, dan pemandangan lembah-lembah
Ruteng di kejauhan – saya pikir ini adalah sebuah tawaran menarik. Sangat
kontras dengan hotel matahari saat di Labuan Bajo.
“Dulu
tempat ini banyak suster-nya, tetapi sekarang sudah tidak lagi, sehingga
dijadikan penginapan,” jelas salah satu suster. Luar biasa, selain
melakukan aktivitas kebiaraan, mereka juga melakukan bisnis perhotelan!
Pagi-pagi sekali saya bertolak ke daerah Golo Curu. Sawah, ya sawah, saya tidak
bosan dengan sawah walaupun kosan saya di pinggir sawah. Karena, di tempat ini
kita bisa menyaksikan matahari terbit. Namun saya terlambat, matahari sudah
tinggi ketika saya sampai disana. Namun, nuansa pagi pedesaan tetap sangat
terasa. Ada anak yang pergi sekolah, sapi yang sedang merumput, dan beberapa
petani sedang melakukan aktifitasnya. Sementara di kejauhan terlihat
sawah-sawah bertingkat dihiasi kabut tipis.
Motor
saya terus pacu ke arah selatan Ruteng. Penunjuk jalan menunjukan ke arah Liang
Bua. Sepi sekali. Pemandangan selama perjalanan dihiasi sawah-sawah berundak
yang indah diterpa mentari pagi. Sesaat kemudian saya sampai di sebuah mulut
Gua. Ini adalah sebuah situs purbakala. Tempat ditemukanannya salah satu
spesies manusia purbakala. Homo Floresenesis, manusia purba yang tingginya
hanya sekitar satu meter pada usia dewasa. Entah benar atau tidak, tapi saya
sempat menemukan beberapa orang dewasa berukuran seperti itu di Ruteng ini.
Tetapi
saat saya disana, tak ada seorang pun yang nampak. Tidak ada penjaga ataupun
lainnya (lainnya?!), hanya pintu gerbang depan yang terbuka namun pintu masuk
ke dalam terkunci. Terdapat marka-marka tempat ditemukannya fosil-fosil
di gua limestone ini. Bulu kuduk saya agak merinding, setelah mengambil
beberapa foto muka gua, saya bergegas kembali ke kota.
Sawah lagi, tadinya saya ingin ke sawah di desa Cancar,
berbentuk spider web. Tapi kok ya bisa lupa entah kenapa errrr.
Desa Compang Ruteng Hanya berjarak sekitar tiga kilometer dari pusat kota, saya
menemukan sebuah Desa Adat. Ini satu-satunya Desa adat di Ruteng. Compang
Ruteng, adalah sebuah desa adat tradisional. “Selamat datang di Compang
Ruteng,” seorang bapak tua menyambut saya. Saya dipersilakan masuk ke dalam
Todo, rumah adat yang terbuat dari kayu dan beratap alang-alang, tipikal rumah
adat di Indonesia.
Saat
saya masuk ke rumah beliau, hawa sejuk langsung terasa, padahal di luar panas
sekali. Ternyata ini akibat atapnya yang terbuat dari alang alang. Jika diluar
panas, di dalam akan sejuk. Jika diluar dingin, makan di dalam akan hangat.
Otomatis tanpa harus menggunakan AC! Saya pun jadi merem melek ingin sekali
tidur saat itu haha.
Orang-orang
flores sangat ramah ternyata, terlepas dari wajahnya yang seram itu. Impresi
saya saat di labuan bajo memang kurang. Tapi disini, Ruteng, orangnya sangat
murah senyum. Tulus, tidak dibuat-buat. Cobalah sesekali berjalan ke kota,
tunjukan sedikit senyum anda, mereka akan tersenyum lebih lebar lagi. Ruteng
memang dingin, tetapi orang-orang mudah senyum ini membuat hangat suasana. Ada
lelucon sarkas yang saya dengar seperti ini, “Sekali orang flores menebarkan
senyumnya, hilanglah wajah neraka mereka!”
Saat
berada di Compang Ruteng, tidak ada aktivitas yang nampak. “Yang lainnya sedang
bekerja di kebun, kalau siang begini ya tinggal yang tua-tua begini,” kata pak
Lambertus sambil tertawa. “Lebih banyak bule yang kesini daripada orang
Indonesia, kalo ada ya paling mahasiswa yang sedang penelitian,” ia
menjelaskan, setelah bertanya maksud kedatangan saya. Saya memang sangat kagum
dengan arsitektur rumah-rumah tradisional flores. Bahkan, tadinya saya ingin
mengunjungi Desa Wae Rebo, tapi kondisi kaki yang banyak terluka karena terumbu
karang tidak mengizinkan saya, pun saya tidak membawa sepatu trekking. Karena
untuk menuju Wae Rebo, harus naik gunung paling tidak tiga jam. Dan yang unik
dari orang flores adalah ucapan salam-nya. “Neka Rabo!” yang artinya “Jangan
marah.” Tapi saat di labuan bajo saya malah marah betulan haha. Marah atau
tidak marah, mereka akan tetap menyapa Neka Rabo!
Setelah
banyak berbincang dengan Bapak Lambertus, ia minta maaf dan pamit karena ada
urusan di kota. Tidak lama kemudian ia sudah berjas, namun tetap menggunakan
kain tradisional. Sebuah mobil kijang merah nampak sudah menunggunya di depan.
** Saya kembali ke pusat kota. Ternyata, katredal Ruteng itu ada dua. Pagi tadi
saya baru mengunjungi yang kecil, ternyata masih ada satu lagi yang lebih
besar. Katredal ini nampak lebih mewah, halamannya luas dipenuhi rumput yang hijaunya
seperti lapangan gelora bung karno, juga dihiasi cemara yang tertata rapi. Di
depan katredal ada sebuah patung yesus dan dibawahnya banyak sekali anak-anak
kecil yang bermain bola, dan tidak lama kemudian mereka sudah mengerubungi
saya. Mereka melihat saya heran. Setelah saya mengeluarkan kamera, dan sedikit
senyumanm mereka pun ikut tersenyum dan berlari menuju saya, minta
dipoto. Memang kamera besar saya ini terkadang membuat saya jadi pusat
perhatian, sepertinya Leica M9 lebih cocok hmmm. *Aminnn*
“Mas
dari mana? Dari Jawa ya? Ini cara makenya gimana? Ini apa mas?,” saya dihujani
pertanyaan-pertanyaan polos dari bocah-bocah ini. Namun ada satu kalimat dari
bocah itu yang saya sangat ingat, “Mas dari Jakarta ya? Maaf ya mas kota kami
kumuh begini,” kata bocah itu polos, dengan logat Flores-nya.
Entah
dia memuji atau menyindir, tapi dari matanya, terlihat ia memang tidak tahu
apa-apa tentang Jakarta. Entah Jakarta seperti apa yang ada di imajinasi anak
itu. Di Ruteng, saya belajar tentang bagaimana cara menghormati agama lain,
merasakan bagaimana menjadi kaum minoritas. Mengenal Indonesia dari sisi pulau
Flores, karena Indonesia itu tidak hanya pulau Jawa. Maka janganlah memandang
rendah orang lain, walaupun ia berbeda agama. Agamaku agamaku, agamamu agamamu.
Tetaplah satu Indonesia.
Kota
ini memang dingin, tetapi orangnya sama sekali tidak dingin. “Kapan-kapan main
ke Ruteng lagi mas, fotoin kita lagi!” seorang anak berteriak kepada saya. Sore
itu berawan mendung, namun mentari tetap menembusnya, waktunya saya untuk
berpamitan. Saat beranjak pulang, terlihat anak-anak itu melambaikan tangannya
sambil tersenyum bahagia. Sangat bahagia.
SUMBER : http://www.wiranurmansyah.com
Blog yang bagus dan hangat... semoga blognya terus berkembang... Saya ingin berbagi article tentang Duomo di Milan di http://stenote-berkata.blogspot.hk/2018/03/milan-di-piazza-del-duomo.html
BalasHapusLihat juga video di youtube https://youtu.be/GkJmdx6yrAo